[COPAS] : Ilusi Bernama Moneyball

pict from : dailytelegraph.com.au


* tulisan ini berasal dari salah satu sub-bab buku karangan Pandit Football Indonesia yang berjudul "Brazillian Football and Their Enemies" yang ditulis oleh salah satu pandit bernama Vetricia Wizachdi tahun 2013. Melihat arah kebijakan pembentukan tim dari tim-tim elit eropa saat ini sulit untuk membedakan apakah proses jangka panjang yang dikedepankan ataukah sebuah hasil instan yang diinginkan. Ketika seorang pemain diperebutkan oleh lebih dari satu tim maka faktor nonteknislah yang(biasanya) akan menjadi faktor pembeda, yes "Money Talks".*



Ilusi Bernama Moneyball


Siapa berani berharap, ia mesti siap kecewa. Tapi karena sepakbola dipenuhi kisah epik ketidakmungkinan yang jadi kenyataan, maka harapan dan mimpi tak pernah punah dari sepakbola. Selalu ada kesempatan bagi underdog untuk mengalahkan kampiun, karena David memang pernah mengalahkan Goliath.

Itulah kenapa para fans fanatik tetap datang ke stadion kendati tim kesayangannya sedang membusuk kualitasnya. Selain rasa cinta, mereka digerakkan oleh harapan [kadang mimpi, kadang angan] bahwa timnya bisa membuat kejutan atau keajaiban tak terduga.

Fans bola mana yang tak pernah berharap tim kesayangannya bisa membalikkan keadaan saat injury time?Angan-angan jadi juara, meski dengan kondisi tim seadanya, seakan jadi candu yang kerap membuat orang tak bisa meninggalkan olahraga ini. Setiap pemain dan suporter seakan punya kesempatan untuk dapatkan hasil maksimal jika bola sudah digulirkan di lapangan.

Lihatlah final Piala FA musim lalu. Betapa banyak orang yang bersorak saat "si kecil" Wigan berhasil mengalahkan "si rakus" Manchester City. Tengok juga Borussia Dortmund yang mendapat simpati dari berbagai penjuru dunia. Selama beberapa musim mereka dianggap berhasil memberikan perlawanan pada kemapanan Bayern Muenchen di Bundesliga.

Sang Pembagi Kartu Mengakali Peluang

Seperti Borussia Dortmund, Billy Beane punya cerita indah. Di usia 18 tahun ia sempat jadi seorang pemain baseball berbakat yang diincar New York Mets. Namun, karena beberapa alasan yang sulit dijelaskan bahkan oleh dirinya sendiri, karirenya terhenti. Alih-alih bermain di klub besar, Beane lalu terdampar di tim pesakitan Oakland A. Ia tak pernah jadi bintang.

Di usia 27, Beane memutuskan pensiun bermain. Ia melamar sebagai pemandu bakat. Delapan tahun kemudian, ia sudah mendapat promosi sebagai general manager Oakland A.

Di bawah Beane, Oakland A bertransformasi. Jika sebelumnya mereka tak pernah mencicipi rasanya menang, Oakland A malah bisa masuk play-off lima kali dalam 8 tahun. Tim yang beban gajinya ketiga terkecil di liga itu mampu menantang raksasa macam New York Yankees atau The Mets.

Dalam dunia baseball ini berarti satu hal: keajaiban.

Di Amerika, negara yang mendewakan kesuksesan individual, juga negeri yang pernah memproduksi apa yang disebut Mimpi-mimpi Amerika, kisah tentang Beane dan Oakland A amat mudah menyebar luas. Apalagi ada bumbu tentang prinsip-prinsip yang belum pernah dilakukan sebelumnya di dunia baseball, yaitu memanfaatkan data dan statistik untuk mencari pemain yang undervalued.

Konsep ini dikenal dengan nama moneyball. Hipotesanya adalah satu tim kecil bisa mengakali sistem yang mapan jika bermain pintar. Dalam buku Moneyball karya Michael Lewis, Beane sendiri bahkan digambarkan seperti seorang pembagi kartu di kasino yang kerap "mengalahkan" peluang. Outsmarting the odds. 

Menurut salah satu artikel The New York Times, pada masanya konsep moneyball ini cukup mengguncang dunia bisnis. Beberapa tahun sebelum buku ini keluar, Amerika sendiri sempat dikagetkan dengan Malcom Gladwell dan buku The Tipping Point, yang juga mengajarkan cara berpikir radikal untuk memahami mekanisme kerja satu dunia.

Untuk Billy Bean dan moneyball, dunia itu baseball. Namun prinsip yang digunakannya bisa digunakan oleh industri lain. Bean bahkan pernah bersama-sama dengan ahli kesehatan menganalisa caranya menurunkan beban dana jaminan kesehatan dengan menggunakan statistik.

"Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya," ujar Bean dengan persistensi tinggi, "Adalah dengan mempelajari statistiknya."

Dua Merah, Dua Benua

Di dunia olahraga Amerika Serikat nama John W. Henry adalah legenda. Dengan cerutu dan tangan terkepal di atas, pernah ia merayakan gelar juara Red Sox, salah satu klub baseball terbesar yang berasal dari Boston. Ini terjadi pada 2004, saat Red Sox mendapatkan gelar juara pertamanya semenjak 1918.

Dua tahun sebelum kemenangan Red Sox, Henry pernah mengontak Beane. Dengan iming-iming gaji selama 5 tahun sebesar 12,5 juta dolar --bayaran tertinggi untuk seorang GM di baseball— Henry ingin memboyong Beane ke Boston. Mula-mula tawaran ini diiyakan Beane, namun karena alasan keluarga akhirnya ditampik. Henry kemudian mengontrak seorang lulusan Yale berusia 28 tahun, seorang jenius bernama Theo Epstein.

Sisa ceritanya tentu sudah bisa ditebak. Hanya dalam waktu satu tahun Epstein berhasil membentuk tim yang sukses memenangkan World Series pertamanya dalam 86 tahun. Tiga tahun kemudian, prestasi ini juga mampu diulangi. Caranya? Dengan mendatangkan pemain-pemain veteran dan pemain tanpa klub (free agent). Namun, data statistik menunjukkan bahwa pemain-pemain ini masih sanggup memberikan kontribusi.

Lagi-lagi cerita tentang mengakali sistem dengan cara yang cerdas. 

Sukses dengan tim merah di Boston, Henry melayangkan pandangannya pada tim merah lainnya di benua Eropa, Liverpool Football Club. Sebagai pengganti Eipstein, nama Damien Comolli ditawarkan. 

Kedatangan Henry dan fairytale tentang moneyball tentu disambut gembira. Kisah tentang Red Sox yang mengakhiri puasa gelarnya jadi mimpi yang juga ingin diwujudkan di kota The Beatles itu. Setelah mengalami masa-masa pahit dengan salah satu sports owner terburuk di Amerika, Tom Hicks dan George Gillett, mendapatkan salah satu pemilik klub terbaik (kedua setelah Robert Craft), jadi imbalan yang menyenangkan, bukan?

Apalagi Comolli sendiri memiliki kedekatan personal dengan Billy Beane, sang pencetus moneyball. Saat pertama kali menemukan Gareth Bale di Tottenham Hotspur, Comolli tak lupa untuk menelpon Beane dan bercerita. Beane juga sudah memprediksi bahwa Henry akan merekrut Comolli untuk membantunya di Liverpool. Memang, seperti halnya Beane dan Eipstein, Comolli juga menggunakan data dalam menentukan nilai pemain.

"John (Henry) mengerti angka, dan dalam olahraga angka jadi segalanya. John adalah orang yang sangat rasional," tutur Beane dalam wawancaranya dengan majalah Maxim.

Premis yang Diabaikan oleh Papan Tulis yang Sama

Sampai di titik itu, kisah tentang Beane, Henry dan moneyball sepertinya akan berakhir bahagia. Pemilik yang rasional dan cara-cara revolusioner seharusnya jadi bahan baku satu cerita yang hebat. Cerita tentang bagaimana Liverpool mengakhiri masa paceklik gelar juara Inggris. Atau tentang Red Sox yang jadi klub nomor satu di Amerika. Atau tentang Billy Beane dan Oakland A yang pindah kasta jadi tim hebat.

Namun, tiga tahun setelah Henry mengambil alih, Liverpool masih berada di peringkat 7 di Liga Inggris. Red Sox belum pernah lagi memenangi gelar juara semenjak 2007. Dan Comolli sudah dipecat. Nasib Oakland A pun tak jauh berbeda. Tim ini kembali jadi tim semenjana. Tak sanggup lagi menentang kedigdayaan The Yankees, Mets, dan (ironisnya) Red Sox.

Lalu bagaimana dengan Billy Bean? Ia masih berada di Oakland A. Masih coba mengidentifikasi pemain-pemain berbakat yang tak terpantau radar. Masih dengan menggunakan data dan cara yang sama. Bahkan masih dengan papan tulis yang sama yang ia gunakan hampir satu dekade .

Di balik dongeng indah tentang melawan kemapanan sebenarnya ada premis yang terlupakan, atau diabaikan. Misalnya saja Red Sox. Saat sukses memenangi kejuaraan dunia, Red Sox bukan melakukannya karena hanya mampu mengidentifikasi pemain berbakat yang under-value, namun disertai juga dengan kemampuan finansial.

Bagaimanapun, mengetahui pemain mana yang mesti direkrut adalah satu soal, dan membelinya adalah soal yang lain. Mengetahui dan mendeteksi pemain boleh jadi adalah soal metode atau metodologi riset, namun membeli adalah soal ekonomi. Tak punya uang untuk membeli pemain incaran itu apa gunanya?

Premis kedua adalah kondisi pasar. Saat moneyball pertama digunakan, ada inefisiensi pasar pemain. Ini disebabkan mekanisme rekrutmen pemain yang masih menggunakan cara-cara tradisional. Kala itu, memang ada anggapan bahwa hanya mereka yang pernah bermain di Major League yang mampu mengidentifikasi dan mengelola bakat-bakat hebat. Penilaian subyektif pemandu bakat jadi segala-galanya dalam perekrutan.

Ini berubah saat nama Billy Bean mulai mencuat -- atau lebih tepatnya saat buku Moneyball dikeluarkan. Para pemilik klub mulai berpikir ulang. Alih-alih menyewa jasa mantan pemain, kenapa tidak menggunakan ahli analisis data yang mampu menemukan pemain-pemain berbakat?

Di sinilah premis mengapa moneyball bekerja mulai berubah. Jika sebelumnya hanya Billy Bean yang mampu menemukan seorang pemain berbakat yang kerap berada di bawah radar, kini banyak statician lain mampu melakukannya. Ini berarti akses pada (pasar) data pemain-pemain tak bisa lagi didominasi Beane, Eipstein, atau John Henry. Keistimewaan John Henry yang mengerti data pun akhirnya jadi satu keharusan yang dimiliki oleh pemilik klub lainnya.

Dalam skala lebih kecil, kondisi ini juga terjadi di sepakbola, terutama di Inggris. Dalam artikelnya, Simon Kuper bercerita tentang klub-klub Inggris yang dulunya dijalankan sebagaimana klub MLS: mantan pemain sebagai penguasa. Saat Comolli pertama kali menjalankan tugasnya di Tottenham Hotspur, ia bahkan kerap mendapatkan cemooh dari para "aristokrat bola" yang menganggap remeh data dan statistik.

Namun, kondisi ini perlahan berubah. Contohnya Manchester City. Tim statistik dari klub ini sekarang memiliki data setiap pemain yang berada di Premier League. Perekrutan David Silva, Yaya Toure, Carlos Tevez, dan Adam Johnson, kala itu sempat didasari pada satu keinginan untuk meningkatkan pass completion rate [rata-rata umpan yang akurat] di area sepertiga lapangan akhir. Hasilnya memuaskan. Kemampuan mempertahankan bola di area final third City meningkat 7,7%.

Tentu cerita ini tidak berakhir di Manchester City, Tottenham, atau Liverpool saja. Sebagaimana moneyball yang menyebar di berbagai olah raga seperti rugby, kriket, atau basket, klub lain juga mulai mengadopsi cara mengidentifikasi pemain dengan data dan statistik ini.

Ini menimbulkan pertanyaan lanjutan. Jika semua klub memiliki akses data yang sama, masih adakah pemain yang under-value? Bukankah pada akhirnya bakat-bakat terbaik, entah itu ditemukan oleh statistik atau oleh mata seorang pemandu bakat, tetap saja akan direkrut oleh klub dengan dana terbanyak? Saat Liverpool hanya mendatangkan Luis Alberto, bukankah Real Madrid bisa mendatangkan Alvaro Morata?

Cerita yang Akan Tetap Ada

Jangan salah, cerita tentang underdog yang mengalahkan peluang akan tetap ada. Jika tidak menggunakan statistik, pasti akan ada cara-cara lain yang ditemukan untuk mengalahkan kemapanan. Borussia Dortmund yang menggunakan pemain muda, atau Udinese yang menebar ratusan bibit pemain di berbagai negara jadi salah satu contohnya. Bahwa siapa pun bisa saja merengkuh sukses kendati minim dana.

Sebagai sebuah konsep, moneyball sudah memperlihatkan lubang-lubang teoretisnya, seperti yang sebagian sudah dikemukakan di atas. Ini hal yang wajar karena ilmu pengetahuan tak akan pernah kalis (kebal) dari bug. Bahkan ilmu pengetahuan dengan tegas menyatakan, satu konsep hanya bisa bertahan sampai ada konsep lain yang bisa membantahnya. Dengan itulah ilmu pengetahuan terus terbarukan, karena selalu membuka diri pada temuan-temuan baru yang membantah atau bahkan membatalkan keabsahan temuan-temuan lama. Ilmu pengetahuan berkembang karena dapat dibuktikan salah.

Masalahnya bukan pada konsep moneyball sudah terbuktikan sebagai salah atau tidak salah. Namun bisakah mendeteksi kapan ia menjadi usang?

Moneyball adalah ilusi ketika lubang-lubang teoretisnya itu dibiarkan menjadi kabut. Tapi memang itulah watak ilusi: menyamarkan kekosongan dan membiarkannya seolah sebagai kepastian.



Vetricia Wizach


Tulisan ini diambil dari buku “Brazillian Football and Their Enemies” karangan Pandit Football Indonesia
Tulisan ini tayang di situs sport.detik.com pada tanggal 13 Agustus 2013

Comments

Popular posts from this blog

COME TO STADIUM #1 : Hanoi FC Lawan Hai Pong (Vietnam League)

Last Day : Lost in Bangkok

MAKE AC MILAN GREAT AGAIN !