AJAX AMSTERDAM : KEMBALINYA SANG RAJA EROPA ?
Belanda dikenal sebagai salah satu negara yang banyak
melahirkan pemain-pemain sepak bola calon bintang masa depan. Geliat sepak bola
negeri kincir angin ini memang baru dikenal secara luas diawal medio ‘70an
dimana Ajax dan Feyenoord menjadi pionir menakutkannya sepak bola Belanda saat
itu. Hal itupun berimbas ke tim nasional dimana pada world cup 1974 Belanda mengguncang persepakbolaan dunia lewat gaya Total Football yang dipimpin salah satu
seniman bola jenius dalam diri Johan Cruyff dan sang arsitek Rinus Michels.
Sejak saat itu pula Ajax Amsterdam sebagai tim tersukses
sepak bola negeri kincir angin seakan tidak pernah habis melahirkan calon-calon
wonderkid sampai saat ini dimulai dari Johan Cruyff, Marco Van Basten, DeBoer
bersaudara, Wesley Sneijder, sampai era Daley Blind seperti sekarang.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari suksesnya program sepak bola usia dini
khususnya dari 3 tim terbaik di negera yang menganut sistem monarki ini yaitu
PSV Eindhoven, Feyenoord, dan Ajax sebagai tim tersukses di Belanda.
Era ‘90an
Ajax Amsterdam sebagai yang paling sukses di Belanda bahkan
mungkin salah satu tim tersukses di Eropa memegang peranan paling penting dalam
penyuplai pemain-pemain terbaiknya baik itu ke tim nasional Belanda maupun ke
beberapa tim elit eropa. Julukan tim tersukses
memang pantas disandang tim yang bermarkas di kota Amsterdam ini dimana
33 kali Ajax berhasil menjuarai Eredivisie
(kasta liga tertinggi di Belanda) dan 4 kali menjadi kampiun di Champions League. Gelar terakhir di Champions League terjadi pada tahun
kompetisi 1994/1995 yang juga menjadi gelar terakhir Ajax di berbagai kompetisi
antar tim eropa. Pada tahun tersebut Ajax sukses menaklukan raksasa Italia yang
juga sedang menjadi raksasa eropa pada saat itu yaitu AC Milan dengan skor 1-0
lewat gol si bocah 18 tahun Patrick Kluivert.Tidak tangung-tanggung bahkan
selama tahun 1995 tersebut Ajax memiliki rekor luar biasa dimana menjadi tim
yang tak terkalahkan baik di liga maupun di kompetisi eropa. Kesuksesan
tersebut tidak lepas dari tangan dingin seorang meneer Louis Van Gaal yang berhasil memadukan para pemain senior
saat itu yaitu Danny Blind, Frank Rijkaard dan para pemuda seperti Patrick
Kluivert, Clarence Seedorf, Edgar Davids dan beberapa pemain lainnya.
Di periode tahun ‘90an ini pula dunia sepak bola mulai
menjadikan Ajax sebagai salah satu standar suksesnya program pembinaan usia
dini maupun scouting system yang
banyak ditiru oleh tim-tim eropa lainnya bahkan dianggap paling terbaik jauh
sebelum kita mengenal Barcelona dengan La
Masia, Real Madrid dengan La Fabrica
maupun yang paling hot saat ini AS Monaco dengan La Turbie nya. Sistem usia dini yang dilakukan di De Toekomst (sebutan akademi Ajax
Amsterdam) akhirnya banyak diadaptasi tim-tim eropa meliputi 8 ingredients penting dalam sesi latihan
meliputi coordination training, kicking,
passing and throw-in’s, moves to beat an opponent, heading, finishing,
position play, position game play and small sided games dan dipadukan
dengan “TIPS” sebagai core utama dalam proses perekrutan talenta-talenta
terbaik yang terdiri dari Technique,
Insight and Intelligence, Personality, Speed.
Sangat wajar bila melihat
poin-poin tersebut menjadi dasar bagaimana sistem Total Football bisa berjalan dimana sistem tersebut mengedepankan
kemampuan masing-masing individu didalam tim untuk berpindah posisi secara
cepat bergantung pada situasi yang terjadi di lapangan dan hanya ada satu
pemain yang tidak bergerak dari posisinya yaitu seorang kiper. Sistem ini sudah
terpatri atau terdoktrin dimasing-masing individu sejak usia dini sehingga
sistem Total Football yang menurut
penulis adalah salah satu sistem sepak bola lama yang masih sustainable sampai saat ini dengan
berbagai penyempurnaannya.
Era Sepak Bola
Industri
Semakin industrialisasinya dunia sepak bola berimbas pada tim yang berkandang di Amsterdam Arena ini. Ajax bukanlah tim kaya dengan uang berlimpah layaknya Real Madrid, Barcelona, Duo Manchester, FC Bayern, ataupun tim-tim kaya eropa lainnya. Business Insider Indonesia pada bulan 20 Januari 2017 pernah merilis 20 tim terkaya di Eropa dan sayangnya tim dengan sejarah panjang seperti Ajax tidak masuk kedalam 20 tim terkaya di Eropa. Ajax harus rela kalah oleh Leicester City yang menjadi trending topic sepak bola di tahun 2016 karena menjadi juara Premier League untuk pertama kali dalam sejarah klub ataupun West Ham united yang terombang-ambing bahkan nyaris berada di zona degradasi pada musim 2016/2017.
Hal inilah yang membuat Ajax harus merelakan
bintang-bintangnya pindah ke tim-tim yang lebih besar khususnya lebih besar
dari segi finansial. Tetapi apakah pembinaan usia dini dan scouting system yang telah berjalan berhenti begitu saja ? Tentu
saja tidak !. Ajax terus menerus berhasil mencetak pemain-pemain hebat bahkan
menjadi bintang di timnya masing-masing. Tengok saja bagaimana nama Zlatan
Ibrahimovic mulai dibicarakan di panggung lapangan hijau sebelum akhirnya
pindah ke Juventus di tahun 2004 yaitu pada saat di Ajax, Kesuksesan Tottenham
Hotspurs yang dalam 2 musim terakhir selalu konsisten berada dipapan atas
Premier League tidak lepas dari 3 pemain alumnus dari De Toekomst yaitu Christian Eriksen, Jan Vertonghen, dan Toby
Alderweireld, serta Wesley Sneijder yang menjadi salah satu elemen penting dari
Inter Milan saat mendapat treble di tahun 2010 maupun pemain-pemain lainnya
semisal Luis Suarez, Klas Jan Huntelaar, dan Rafael Van Der Vaart .
Pemain-pemain tersebut bukan hanya menjadi bintang bagi timnya masing-masing
tetapi juga menjadi tulang punggung di tim nasionalnya.
Efek domino dari tertidurnya Sang Raja Eropa
ini sangat dirasakan oleh publik penggemar sepak bola belanda khususnya publik
Amsterdam dimana mereka sangat merindukan tim favoritnya kembali menguasai
panggung Eropa. Prestasi terbaik Ajax pada kompetisi Eropa adalah pada tahun
2008-2009 dimana mereka berhasil mencapai babak 16 besar Europa League (saat itu masih UEFA
Cup).
Musim
2010-sekarang
Perubahan besar dilakukan diawal dekade kedua
setelah tahun ‘90an, dimulai ditunjuknya Tonny Bruins Slot yang notabene adalah orang lama di
jajaran staff kepelatihan dan tangan kanan dari Johan Cruyff saat bersama-sama
membawa Barcelona menjadi juara champions league 1992 menjadi chief scout. Reformasi juga terjadi pada
pergantian pelatih serta perombakan jajaran manajemen dimana pemain-pemain yang
pernah berhasil membawa Ajax menjadi salah satu tim yang disegani di Eropa
seakan kembali dan pulang ke rumah ketempat dimana mereka pertama kali dikenal
sebagai pesepakbola hebat. Frank de Boer ditunjuk menjadi manajer, Edwin Van
Der Sar dan Marc Overmars ke jajaran direktur, serta Dennis Bergkamp dan
Winston Bogarde yang masuk kedalam jajaran kepelatihan.
Perombakan ini terbukti tepat
dimana di musim pertama sekaligus pengalaman pertama Frank de Boer menjadi manajer
profesional sukses membawa tim menjadi juara Eredivisie dan bahkan menjadi juara secara 4 kali beruntun
(2010-2014). Keberhasilan menjadi juara menjadi obat yang mujarab dimana
sebelumnya selama 6 tahun bertutut-turut gelar Eredivisie terparkir ke tim rival PSV Eindhoven,AZ Alkmaar, serta
FC Twente. Ekspektasi publik Amsterdam pun meninggi dimana menginginkan tim
kebanggaannya bisa kembali menguasai Eropa. Sempat luput di dua musim
setelahnya karena kalah bersaing dengan PSV dalam perebutan gelar Eredivisie Ajax kembali di musim
2016-2017 dengan skuat muda dengan average
age 22,7 tahun. Skuat ini bersaing ketat dengan rival abadi Feyenoord
Rotterdam hingga akhir musim walaupun di akhir musim Ajax akhirnya harus menyerah
dengan Feyenoord karena berbeda 1 poin di tangga klasemen akhir Eredivisie.
Walaupun begitu ada hal menarik dari sang mantan Raja
Eropa ini dimana skuat yang di arsiteki oleh Peter Bosz berhasil mencapai final
Europa League dan akan menghadapi raksasa
Premier League Manchester United.
Pertandingan yang akan mempertandingkan antara solidnya scouting system dengan kuatnya financial
system. Selayaknya final champions
league 1995 dimana pada saat itu AC Milan adalah tim yang sangat kuat
secara finansial menghadapi para young
guns Ajax. Perlu diingat pemain-pemain seperti Kasper Dolberg, Davy
Klaassen, Jairo Riedewald, maupun Justin Kluivert bukanlah pemain-pemain jadi yang
dibeli dengan sejumlah uang yang besar. Mereka adalah beberapa contoh suksesnya
proses scouting dan pembinaan usia
dini. Seperti yang dikatakan oleh Edwin Van Der Sar kepada salah satu media di
belanda ketika bergabung kembali bersama Ajax.
“But we (Ajax) are small so we have to help each other, to make
each other bigger. You have your plan for yourself and how you want to develop
but Ajax gave us our first opportunity and we want to share our knowledge. We
don’t have those big star players in the current squad who have experience of
winning. We want to share that.”
“We accept that in one way now, if you are 27, 28 and still
playing for Ajax you are probably not good enough for the top of Europe because
players want to go to the top in Europe. So we have to make sure there are even
quicker and stronger and better players for the first team than maybe three,
four or five years ago. We want to have the best young team in Europe.”
Perlu diingat juga sebelum Ajax
menjadi kampiun pada tahun 1995 mereka sebelumnya menjadi juara UEFA Cup pada tahun 1992 saat itu Ajax
mengalahkan Torino dengan unggul gol tandang 2-2 (saat itu final UEFA Cup memakai sistem home & away). Bisa jadi final Europa League kali ini adalah awal
sebelum dalam 3 atau 4 tahun kemudian
Ajax kembali menjadi juara Eropa yang sesungguhnya dengan menjadi juara champions league, ya… selama mereka bisa
menahan para pemain bintangnya untuk tidak pindah ke tim lain. Yang pasti final
ini akan menjadi pertandingan yang menarik dimana mempertemukan 2 tim dengan
sejarah panjang dan sama halnya dengan Manchester United yang mengincar kemenangan
untuk mendapatkan tiket langsung ke champions
league musim depan Ajax juga berusaha meraih kemenangan karena peringkat
kedua liga hanya akan mendapatkan tiket playoff
champions league dimana mereka bisa saja gagal mendapatkannya. Atau memang
inilah waktu yang tepat untuk kembali menjadi juara eropa bagi salah satu sang
raja Eropa dari mati suri yang cukup panjang, We’ll see.
Hernadi Faturachman
Comments
Post a Comment